BLBI: Luka Lama yang Menganga, Perburuan Keadilan Tanpa Henti
Korupsi, ibarat kanker ganas, menggerogoti setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, sejarah panjang perjuangan melawan rasuah diwarnai oleh berbagai kasus besar yang tak hanya merugikan triliunan rupiah, tetapi juga menguji integritas sistem hukum dan keberanian aparat penegak hukum. Di antara sekian banyak episode kelam tersebut, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berdiri sebagai monumen pengingat betapa kompleks, berliku, dan lamanya sebuah perburuan keadilan dapat berlangsung. Kasus ini, yang berakar pada krisis moneter 1998, kini kembali menghangat dengan berbagai upaya hukum baru yang menunjukkan bahwa luka lama ini masih menganga dan menuntut pertanggungjawaban.
Kilas Balik: Ketika Negara Menyelamatkan, Dana Disalahgunakan
Krisis finansial Asia tahun 1997-1998 menghantam Indonesia dengan dahsyat. Rupiah terdepresiasi tajam, inflasi meroket, dan ratusan bank terancam kolaps. Dalam upaya panik menyelamatkan sistem perbankan nasional agar tidak terjadi bank run massal dan kebangkrutan berantai, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada 48 bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas. Total dana yang digelontorkan mencapai Rp 147,7 triliun.
Namun, niat mulia untuk penyelamatan berubah menjadi bancakan. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2000 menemukan adanya indikasi penyimpangan serius dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI. Dari total dana yang dicairkan, sekitar Rp 138,4 triliun diduga tidak dapat dipertanggungjawabkan atau diselewengkan oleh para obligor (pemilik bank penerima BLBI). Dana tersebut banyak digunakan untuk kepentingan pribadi, investasi fiktif, hingga mengalir ke perusahaan afiliasi yang tidak terkait dengan penyelamatan bank. Ini adalah awal mula sebuah skandal korupsi raksasa yang hingga kini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Drama Hukum yang Berliku: Dari SKL Kontroversial hingga Acquittal yang Mengguncang
Perjalanan hukum kasus BLBI sangatlah panjang dan penuh intrik. Setelah krisis mereda, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengelola aset-aset obligor yang diserahkan sebagai jaminan pengembalian dana BLBI. Di sinilah muncul salah satu episode paling kontroversial: penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi sejumlah obligor BLBI.
SKL ini menjadi dasar hukum untuk menghentikan proses hukum (baik pidana maupun perdata) terhadap para obligor dengan alasan mereka telah dianggap menyelesaikan kewajibannya. Salah satu SKL yang paling disorot adalah yang diberikan kepada Sjamsul Nursalim, obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), pada tahun 2004. Penerbitan SKL ini diyakini banyak pihak dilakukan secara tidak sesuai prosedur dan merugikan negara, karena obligor diduga belum menyelesaikan seluruh kewajibannya secara penuh dan wajar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengambil alih penanganan kasus ini. Pada tahun 2017, KPK menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala BPPN, sebagai tersangka. Ia didakwa menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Proses peradilan Syafruddin Arsyad Temenggung berjalan dramatis:
- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor): Pada tahun 2018, Syafruddin divonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta.
- Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: Pada tahun 2019, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Tipikor, bahkan menambah vonis menjadi 15 tahun penjara.
- Mahkamah Agung (MA): Namun, pada tahun 2019, melalui putusan kasasi, MA secara mengejutkan membebaskan (acquittal) Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan hukum. Majelis Hakim MA berpendapat bahwa perbuatannya bukan merupakan tindak pidana.
Putusan MA ini sontak mengguncang publik dan aparat penegak hukum. KPK, yang telah bekerja keras membuktikan kasus ini, merasa terpukul. Pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung secara otomatis juga menghentikan proses hukum terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Putusan ini seolah menjadi pintu gerbang bagi para obligor BLBI untuk lolos dari jeratan hukum pidana.
Babak Baru: Satgas BLBI dan Perburuan Aset Negara
Melihat mandeknya proses hukum pidana dan masih besarnya kerugian negara yang belum tertagih, Presiden Joko Widodo mengambil langkah strategis. Pada 6 April 2021, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI).
Satgas BLBI memiliki mandat yang jelas: menelusuri, mengidentifikasi, melakukan penagihan, dan memproses lebih lanjut penanganan hak tagih negara atas obligor dan debitur BLBI, serta melakukan pengelolaan aset-aset jaminan yang masih dikuasai negara. Tim ini diisi oleh perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, BPKP, dan Badan Pertanahan Nasional.
Sejak dibentuk, Satgas BLBI telah menunjukkan taringnya:
- Penyitaan Aset: Berbagai aset yang terafiliasi dengan obligor BLBI, baik berupa tanah, bangunan, saham, maupun aset bergerak lainnya, telah disita oleh Satgas. Contohnya adalah penyitaan aset milik Sjamsul Nursalim di berbagai lokasi, termasuk aset PT Dipasena Citra Darma dan Gajah Tunggal.
- Penetapan Piutang Negara: Satgas terus melakukan perhitungan ulang dan penetapan piutang negara terhadap obligor dan debitur BLBI yang belum melunasi kewajibannya.
- Upaya Hukum Perdata: Meskipun jalur pidana menemui jalan buntu bagi beberapa obligor, Satgas BLBI secara agresif menempuh jalur perdata untuk menagih piutang negara dan menyita aset. Ini menjadi strategi utama untuk mengembalikan kerugian negara.
- Pencekalan dan Pemblokiran: Satgas juga melakukan langkah-langkah administratif seperti pencekalan dan pemblokiran rekening atau aset pihak-pihak terkait untuk memastikan mereka tidak dapat mengalihkan aset.
Mengejar Keadilan di Tengah Kompleksitas
Proses hukum BLBI yang sedang berjalan melalui Satgas BLBI bukan tanpa tantangan.
- Kompleksitas Struktur Keuangan: Aset-aset obligor seringkali tersebar di berbagai entitas hukum, baik di dalam maupun luar negeri, dengan struktur kepemilikan yang berlapis dan rumit. Hal ini mempersulit penelusuran dan penyitaan.
- Perlawanan Hukum: Para obligor tentu tidak tinggal diam. Mereka akan menempuh berbagai upaya hukum untuk menggagalkan penyitaan aset atau penagihan piutang, mulai dari gugatan perdata hingga permohonan keberatan administratif.
- Waktu dan Lokasi: Hampir seperempat abad sejak krisis moneter, banyak aset telah berpindah tangan atau nilainya berubah. Obligor juga banyak yang berada di luar negeri, mempersulit eksekusi hukum.
- Koordinasi Antar Lembaga: Meskipun Satgas BLBI melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, koordinasi yang solid dan tanpa ego sektoral menjadi kunci keberhasilan.
Prospek dan Harapan: Menuntaskan PR Sejarah
Kasus BLBI adalah "pekerjaan rumah" besar bagi Indonesia. Keberhasilan Satgas BLBI dalam mengembalikan hak tagih negara bukan hanya soal angka triliunan rupiah, tetapi juga soal penegakan keadilan, penanaman kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem hukum, serta pesan tegas bahwa kejahatan ekonomi besar tidak akan pernah luput dari pertanggungjawaban.
Langkah-langkah progresif yang diambil pemerintah melalui Satgas BLBI menunjukkan komitmen untuk tidak menyerah pada putusan hukum sebelumnya yang dianggap belum memenuhi rasa keadilan. Ini adalah upaya monumental untuk menuntaskan sebuah babak kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Perburuan keadilan dalam kasus BLBI mungkin masih akan panjang dan berliku, namun harapan untuk melihat para penjarah uang rakyat mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan aset negara kembali ke kas negara, harus terus menyala. Ini adalah ujian bagi ketahanan dan integritas bangsa.