Dari Reruntuhan Menuju Harapan: Menguak Evaluasi Program Rekonstruksi Lombok Pasca-Gempa
Pada Juli dan Agustus 2018, serangkaian gempa bumi dahsyat mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bencana alam ini tidak hanya merenggut ratusan nyawa dan melukai ribuan orang, tetapi juga menghancurkan atau merusak ratusan ribu rumah, fasilitas umum, dan infrastruktur vital. Lombok, yang dikenal dengan keindahan alamnya, seketika berubah menjadi lautan puing. Menghadapi skala kerusakan yang masif ini, pemerintah Indonesia, bersama dengan berbagai organisasi kemanusiaan, masyarakat sipil, dan masyarakat internasional, meluncurkan program rekonstruksi dan rehabilitasi terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Empat tahun berlalu, kini saatnya untuk menguak dan mengevaluasi perjalanan panjang dari reruntuhan menuju harapan ini.
Kontekstualisasi Bencana dan Respons Awal
Gempa bumi Lombok tahun 2018 bukan hanya satu peristiwa, melainkan serangkaian guncangan kuat dengan magnitudo bervariasi, termasuk gempa M 6.4 pada 29 Juli, M 7.0 pada 5 Agustus, dan M 6.9 pada 19 Agustus. Dampaknya terasa di seluruh pulau, dengan kerusakan terparah di Lombok Utara, Lombok Timur, dan Lombok Barat. Respons awal difokuskan pada penyelamatan, evakuasi, penyediaan bantuan darurat, dan pendirian tempat penampungan sementara. Setelah fase tanggap darurat, fokus beralih pada rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, yang ditargetkan untuk tidak hanya membangun kembali, tetapi juga membangun lebih baik dan lebih tangguh.
Desain Program Rekonstruksi: Pendekatan Swakelola dan Rumah Tahan Gempa (RTG)
Pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi koordinator utama program rekonstruksi. Desain program ini mengedepankan pendekatan swakelola atau pembangunan berbasis masyarakat, di mana dana stimulan disalurkan langsung kepada masyarakat terdampak untuk membangun kembali rumah mereka dengan panduan teknis dan pendampingan. Konsep Rumah Tahan Gempa (RTG) menjadi inti dari program ini, dengan beberapa desain yang telah diverifikasi ketahanannya terhadap gempa. Masyarakat dibentuk dalam kelompok-kelompok (Pokmas) untuk saling membantu dalam proses pembangunan, dengan dukungan dari fasilitator lapangan, TNI/Polri, dan berbagai NGO.
Dana stimulan yang diberikan bervariasi: Rp 50 juta untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta untuk rusak sedang, dan Rp 10 juta untuk rusak ringan. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah memberdayakan masyarakat, mempercepat proses pembangunan, dan memastikan relevansi desain dengan kebutuhan lokal.
Mengapa Evaluasi Program Penting?
Evaluasi bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen krusial untuk:
- Akuntabilitas: Memastikan penggunaan sumber daya (dana, tenaga, material) yang efektif dan efisien.
- Pembelajaran: Mengidentifikasi praktik terbaik dan pelajaran berharga untuk perbaikan respons bencana di masa depan.
- Efektivitas: Mengukur sejauh mana tujuan program tercapai, yaitu memulihkan kehidupan dan mata pencarian masyarakat.
- Keberlanjutan: Menilai apakah intervensi yang dilakukan memiliki dampak jangka panjang dan mampu meningkatkan ketahanan masyarakat.
- Keadilan: Memastikan bahwa semua kelompok terdampak, termasuk yang paling rentan, menerima bantuan yang proporsional dan tepat sasaran.
Evaluasi program rekonstruksi Lombok umumnya dilakukan berdasarkan kriteria standar pembangunan internasional: Relevansi, Efektivitas, Efisiensi, Dampak, dan Keberlanjutan.
Temuan Utama Evaluasi: Keberhasilan dan Tantangan
Dari berbagai laporan, studi, dan pengamatan di lapangan, evaluasi program rekonstruksi Lombok menunjukkan gambaran yang kompleks dengan keberhasilan signifikan di satu sisi, namun juga diiringi oleh berbagai tantangan.
A. Keberhasilan Program:
- Tingkat Pembangunan Fisik yang Tinggi: Dalam kurun waktu beberapa tahun, sebagian besar rumah yang rusak berat telah dibangun kembali atau diperbaiki. Ribuan unit RTG telah berdiri, memberikan tempat tinggal layak dan aman bagi warga terdampak.
- Pemberdayaan Masyarakat Melalui Swakelola: Pendekatan swakelola berhasil menumbuhkan rasa kepemilikan dan partisipasi aktif masyarakat. Kelompok masyarakat (Pokmas) menjadi wadah koordinasi dan gotong royong, memperkuat kohesi sosial pasca-bencana.
- Inovasi dan Adaptasi RTG: Berbagai desain RTG, mulai dari Risha (Rumah Instan Sederhana Sehat), Rika (Rumah Instan Kayu), hingga Risba (Rumah Instan Baja), memberikan pilihan bagi masyarakat sesuai kondisi geografis dan ketersediaan material lokal.
- Peningkatan Kapasitas Teknis Lokal: Fasilitator dan tukang lokal mendapatkan pelatihan dalam pembangunan RTG, meningkatkan keterampilan mereka dan menciptakan lapangan kerja.
- Kolaborasi Multi-Pihak: Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI/Polri, lembaga donor, NGO nasional dan internasional, serta sektor swasta, adalah kunci percepatan proses rekonstruksi.
- Peningkatan Kesadaran Bencana: Masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya membangun rumah yang tahan gempa dan praktik mitigasi bencana lainnya.
B. Tantangan dan Kendala:
- Proses Pencairan Dana yang Lambat dan Birokratis: Meskipun konsepnya swakelola, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses verifikasi, validasi data, dan pencairan dana stimulan seringkali memakan waktu lama, menghambat percepatan pembangunan.
- Akurasi Data Penerima Manfaat: Data awal kerusakan dan daftar penerima bantuan masih ditemukan memiliki ketidaksesuaian, menyebabkan beberapa warga yang berhak terlambat atau tidak menerima bantuan, sementara yang tidak berhak justru menerima.
- Kualitas Kontrol Pembangunan RTG: Meskipun ada pendampingan, pengawasan kualitas di lapangan masih bervariasi. Beberapa laporan menunjukkan adanya pembangunan RTG yang tidak sesuai standar teknis, berpotensi mengurangi ketahanannya.
- Isu Lahan dan Legalitas Kepemilikan: Banyak rumah yang hancur berada di lahan yang status kepemilikannya belum jelas atau berada di zona rawan bencana. Ini menjadi kendala serius bagi pembangunan kembali.
- Pemulihan Sektor Ekonomi dan Penghidupan: Fokus utama pada pembangunan rumah fisik membuat pemulihan sektor ekonomi dan penghidupan masyarakat tertinggal. Banyak warga kehilangan mata pencarian dan kesulitan bangkit secara ekonomi.
- Dukungan Psikososial yang Kurang Optimal: Dampak trauma psikologis pasca-gempa tidak selalu mendapatkan penanganan yang memadai dan berkelanjutan, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan.
- Aksesibilitas Bagi Kelompok Rentan: Lansia, penyandang disabilitas, dan keluarga miskin seringkali menghadapi kesulitan lebih besar dalam mengakses informasi, proses administrasi, dan pelaksanaan pembangunan RTG.
- Manajemen Material dan Limbah Puing: Skala kerusakan menghasilkan limbah puing yang sangat besar. Penanganannya memerlukan koordinasi dan perencanaan yang matang untuk menghindari dampak lingkungan negatif.
Pelajaran Berharga dari Lombok
Program rekonstruksi Lombok memberikan banyak pelajaran berharga untuk penanganan bencana di masa depan:
- Pentingnya Data Akurat dan Cepat: Sistem pendataan kerusakan dan identifikasi penerima manfaat yang terintegrasi dan transparan adalah kunci.
- Simplifikasi Prosedur dan Birokrasi: Mekanisme pencairan dana harus disederhanakan tanpa mengurangi akuntabilitas.
- Pendekatan Holistik dalam Pemulihan: Rekonstruksi tidak hanya fisik, tetapi juga mencakup pemulihan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis secara terintegrasi.
- Penguatan Kapasitas Lokal: Investasi dalam pelatihan fasilitator, teknisi, dan tukang lokal adalah investasi jangka panjang.
- Rencana Pra-Bencana yang Matang: Standar bangunan tahan gempa harus diimplementasikan secara ketat dan disosialisasikan jauh sebelum bencana terjadi.
- Mekanisme Pengaduan dan Resolusi Konflik: Saluran yang jelas dan efektif untuk pengaduan masyarakat sangat penting untuk menjaga kepercayaan.
Rekomendasi untuk Keberlanjutan dan Masa Depan
Untuk memastikan pemulihan Lombok yang paripurna dan mempersiapkan diri menghadapi bencana di masa depan, beberapa rekomendasi penting meliputi:
- Penyelesaian Pembangunan Tersisa: Mempercepat penyelesaian pembangunan rumah-rumah yang masih terkendala dan memastikan kualitas sesuai standar.
- Fokus pada Pemulihan Ekonomi: Mengembangkan program-program stimulasi ekonomi, pelatihan keterampilan, dan akses permodalan untuk menghidupkan kembali mata pencarian masyarakat.
- Dukungan Psikososial Berkelanjutan: Mengintegrasikan layanan kesehatan mental dan psikososial dalam program kesehatan masyarakat.
- Penguatan Tata Ruang Berbasis Risiko Bencana: Menerapkan rencana tata ruang yang memperhitungkan risiko bencana untuk mencegah pembangunan di zona berbahaya.
- Sistem Mitigasi dan Peringatan Dini: Mengembangkan dan menguji sistem peringatan dini yang efektif serta melakukan simulasi bencana secara berkala.
- Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah: Memastikan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk memimpin upaya rekonstruksi dan mitigasi di masa depan.
Kesimpulan
Perjalanan rekonstruksi Lombok adalah cerminan ketangguhan manusia dan semangat gotong royong yang luar biasa. Dari lautan puing, perlahan namun pasti, harapan telah tumbuh kembali dalam bentuk rumah-rumah baru dan komunitas yang lebih sadar bencana. Evaluasi menunjukkan bahwa meskipun program ini menghadapi berbagai tantangan, keberhasilannya dalam membangun kembali sebagian besar hunian fisik adalah pencapaian monumental. Namun, tantangan yang tersisa, terutama dalam pemulihan ekonomi dan sosial, menuntut perhatian dan komitmen berkelanjutan. Lombok telah bangkit, tetapi perjuangan menuju pemulihan yang utuh dan pembangunan yang lebih tangguh adalah sebuah maraton, bukan sprint. Pelajaran dari Lombok akan terus menjadi panduan berharga bagi Indonesia dan dunia dalam menghadapi ancaman bencana di masa depan.