Berita  

Kebijakan terbaru pemerintah dalam penanganan perubahan iklim

Mengukir Masa Depan Hijau: Ambisi dan Langkah Nyata Indonesia dalam Penanganan Perubahan Iklim

Perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan realitas yang sedang kita hadapi. Sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampaknya, Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat dan proaktif dalam merumuskan kebijakan serta langkah-langkah konkret untuk mitigasi emisi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pemerintah Indonesia secara berkelanjutan memperbarui strategi dan instrumen kebijakannya, menandai era baru penanganan iklim yang lebih ambisius dan terintegrasi.

I. Fondasi dan Ambisi yang Diperkuat: NDC dan Strategi Jangka Panjang

Inti dari komitmen iklim Indonesia adalah Nationally Determined Contribution (NDC) yang diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Pada tahun 2022, Indonesia telah memperbarui NDC-nya menjadi Enhanced NDC (E-NDC), yang menunjukkan peningkatan target ambisi:

  • Mitigasi:
    • Tanpa syarat (unconditional): Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% pada tahun 2030 (naik dari 29% di NDC sebelumnya).
    • Dengan syarat (conditional): Penurunan emisi GRK sebesar 43,20% pada tahun 2030 dengan dukungan internasional (naik dari 41% di NDC sebelumnya).
  • Adaptasi: E-NDC juga memperkuat komponen adaptasi, menekankan pentingnya membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim di berbagai sektor dan wilayah.

Selain E-NDC, Indonesia juga telah merilis Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTS-LCCR 2050). Dokumen ini menjadi peta jalan menuju emisi nol bersih (net-zero emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat, dengan fokus pada transisi energi, pengelolaan lahan berkelanjutan, dan adaptasi yang komprehensif.

II. Instrumen Ekonomi Karbon: Mendorong Transisi Pasar

Salah satu terobosan kebijakan paling signifikan adalah implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021. Perpres ini menjadi payung hukum bagi berbagai instrumen NEK, antara lain:

  1. Pajak Karbon: Indonesia telah memulai implementasi pajak karbon secara bertahap. Fase pertama menargetkan sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, dengan tarif awal Rp30.000 per ton CO2e. Pajak ini bertujuan untuk memberikan sinyal harga kepada emiten agar beralih ke praktik yang lebih rendah karbon.
  2. Perdagangan Karbon (Carbon Trading): Pemerintah telah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia pada akhir 2023. Bursa ini memungkinkan entitas yang melampaui batas emisi untuk membeli kuota emisi dari entitas lain yang berhasil menurunkan emisi di bawah batas yang ditentukan. Mekanisme ini diharapkan menciptakan insentif ekonomi untuk dekarbonisasi dan memfasilitasi aliran investasi hijau.
  3. Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment): Skema ini memberikan insentif finansial kepada pihak yang berhasil mengurangi emisi GRK atau meningkatkan serapan karbon, terutama di sektor kehutanan dan lahan.

III. Sektor Kunci dan Strategi Implementasi yang Komprehensif

Pemerintah fokus pada beberapa sektor utama penyumbang emisi dan memiliki potensi mitigasi besar:

  1. Sektor Energi:

    • Transisi Energi: Mendorong pengembangan energi terbarukan (panas bumi, hidro, surya, angin) melalui berbagai insentif dan regulasi.
    • Pensiun Dini PLTU: Menyusun kerangka kerja dan mencari pendanaan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batu bara.
    • Efisiensi Energi: Mendorong penggunaan energi yang lebih efisien di industri, bangunan, dan transportasi.
    • Kendaraan Listrik: Memberikan insentif untuk adopsi kendaraan listrik guna mengurangi emisi dari sektor transportasi.
  2. Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan (FOLU Net Sink 2030):

    • Indonesia menargetkan sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU) menjadi penyerap karbon bersih (net sink) pada tahun 2030. Ini berarti sektor ini akan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan.
    • Program Utama: Pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, restorasi gambut, rehabilitasi hutan dan lahan, pengelolaan hutan lestari, serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
  3. Sektor Limbah:

    • Mendorong pengelolaan sampah yang lebih baik, termasuk pengurangan sampah di sumber, daur ulang, dan konversi sampah menjadi energi (waste-to-energy).
    • Pengembangan ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah dan emisi dari produksi dan konsumsi.
  4. Sektor Industri dan Pertanian:

    • Mendorong efisiensi energi dan penggunaan teknologi rendah karbon di sektor industri.
    • Menerapkan praktik pertanian berkelanjutan yang mengurangi emisi metana dan meningkatkan serapan karbon tanah.

IV. Adaptasi dan Ketahanan Iklim: Membangun Resiliensi Nasional

Meskipun mitigasi sangat penting, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim juga menjadi prioritas. Kebijakan adaptasi meliputi:

  • Sistem Peringatan Dini: Mengembangkan dan memperkuat sistem peringatan dini untuk bencana hidrometeorologi (banjir, kekeringan, gelombang tinggi).
  • Infrastruktur Hijau dan Tangguh: Pembangunan infrastruktur yang tahan iklim dan berbasis ekosistem, seperti konservasi pesisir dan pengelolaan air terpadu.
  • Ketahanan Pangan dan Air: Mengembangkan varietas tanaman yang tahan iklim, irigasi efisien, dan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.
  • Pemberdayaan Masyarakat: Meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk beradaptasi melalui program-program berbasis komunitas.

V. Transisi yang Adil dan Inklusif

Pemerintah juga menyadari pentingnya transisi yang adil (just transition), memastikan bahwa upaya dekarbonisasi tidak menimbulkan dampak sosial-ekonomi negatif, terutama bagi pekerja di sektor yang akan terdampak (misalnya, batu bara). Kebijakan ini mencakup:

  • Program pelatihan dan reskilling untuk pekerja agar dapat beralih ke sektor ekonomi hijau.
  • Penciptaan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan dan ekonomi sirkular.
  • Perlindungan sosial bagi masyarakat rentan yang terdampak perubahan iklim atau kebijakan transisi.

VI. Tata Kelola, Pendanaan, dan Kemitraan

Keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada tata kelola yang baik dan dukungan pendanaan:

  • Green Taxonomy: Mengembangkan taksonomi hijau Indonesia untuk memandu investasi berkelanjutan dan memudahkan akses pendanaan.
  • Kerja Sama Internasional: Memperkuat kerja sama dengan negara donor, lembaga keuangan internasional, dan forum global untuk mendapatkan dukungan teknologi dan pendanaan.
  • Keterlibatan Multi-Pihak: Mendorong partisipasi aktif dari sektor swasta, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas dalam upaya penanganan perubahan iklim.

Kesimpulan

Kebijakan terbaru pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim mencerminkan komitmen yang kuat, ambisi yang meningkat, dan pendekatan yang lebih terintegrasi. Dari penguatan target mitigasi dan adaptasi, implementasi instrumen ekonomi karbon, hingga strategi sektoral yang detail dan fokus pada transisi yang adil, Indonesia bertekad untuk memainkan peran sentral dalam upaya global menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Tantangan implementasi tentu akan besar, namun dengan sinergi seluruh elemen bangsa, visi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi rendah karbon dan tangguh iklim bukan lagi sekadar impian, melainkan tujuan yang nyata dan dapat dicapai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *