Perbandingan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Negara Lain

Di Balik Palu Keadilan: Menguak Ragam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Dunia

Keadilan adalah cita-cita universal yang diidamkan setiap masyarakat, namun cara mencapainya melalui sistem hukum bisa sangat beragam. Sistem peradilan pidana, sebagai pilar penegakan hukum dan penjaga ketertiban sosial, memiliki karakteristik unik yang dibentuk oleh sejarah, budaya, dan filosofi hukum suatu bangsa. Artikel ini akan membawa kita menyelami perbandingan mendalam antara sistem peradilan pidana di Indonesia dengan model-model yang ada di berbagai belahan dunia.

I. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Perpaduan Tradisi Civil Law dan Nilai Pancasila

Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Kontinental Eropa), yang berakar pada hukum Romawi dan Napoleonic Code. Ciri utama sistem ini adalah kodifikasi hukum yang kuat, di mana undang-undang tertulis menjadi sumber hukum primer dan utama.

  • Filosofi dan Prinsip Dasar:

    • Asas Legalitas: Tiada pidana tanpa undang-undang (nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenali).
    • Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence): Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
    • In Dubio Pro Reo: Dalam keraguan, putusan harus demi kepentingan terdakwa.
    • Keadilan Restoratif: Meskipun secara tradisional berorientasi retributif (pembalasan), Indonesia sedang gencar mengadopsi konsep keadilan restoratif, terutama untuk kasus-kasus ringan, dengan menekankan pemulihan hubungan antara korban, pelaku, dan masyarakat.
  • Struktur dan Tahapan:

    1. Penyelidikan dan Penyidikan: Dilakukan oleh Kepolisian, bertujuan mencari dan mengumpulkan bukti serta membuat terang tindak pidana.
    2. Penuntutan: Dilakukan oleh Kejaksaan, yang berperan sebagai dominus litis (pengendali perkara), merumuskan dakwaan, dan menuntut pelaku di pengadilan.
    3. Peradilan (Adjudikasi): Dilakukan oleh Pengadilan (Hakim), yang bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berdasarkan bukti dan fakta hukum. Peran hakim di sistem Civil Law cenderung inkuisitorial – aktif mencari kebenaran materiil, tidak hanya pasif menunggu argumen para pihak.
    4. Pelaksanaan Putusan (Eksekusi): Dilakukan oleh Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
  • Ciri Khas:

    • Tidak Ada Sistem Juri: Putusan sepenuhnya di tangan Majelis Hakim profesional.
    • Peran Dominan Jaksa dan Hakim: Jaksa aktif dalam menyusun berkas dan menghadirkan bukti, sementara hakim aktif dalam proses pemeriksaan untuk menemukan kebenaran materiil.
    • Ketergantungan pada Bukti Tertulis: Meskipun keterangan saksi dan ahli penting, berkas perkara tertulis memegang peranan sentral.

II. Lensa Perbandingan Internasional: Ragam Model Sistem Peradilan Pidana

Dunia mengenal beberapa model sistem peradilan pidana utama, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.

A. Sistem Common Law (Anglo-Amerika)
Dianut oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan sebagian besar negara persemakmuran Inggris.

  • Filosofi dan Prinsip Dasar:

    • Berakar pada hukum kebiasaan dan putusan pengadilan sebelumnya (precedent atau stare decisis).
    • Penekanan kuat pada hak-hak individu dan proses hukum yang adil (due process).
  • Ciri Khas (Sistem Adversarial):

    1. Sistem Adversarial (Berlawanan): Ini adalah perbedaan paling mencolok. Persidangan digambarkan sebagai pertarungan antara dua pihak yang setara (jaksa penuntut dan pengacara terdakwa) di hadapan hakim yang netral dan pasif. Masing-masing pihak menyajikan argumen dan bukti terbaiknya.
    2. Peran Hakim Pasif: Hakim bertindak sebagai wasit yang memastikan aturan main ditaati, tidak aktif mencari fakta atau menginterogasi saksi.
    3. Sistem Juri: Hampir selalu ada, terutama dalam kasus pidana serius. Juri (terdiri dari warga negara biasa) bertugas memutuskan fakta dan menentukan apakah terdakwa bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), sementara hakim menentukan hukuman.
    4. Plea Bargaining (Negosiasi Pengakuan Bersalah): Sangat umum. Terdakwa dapat mengaku bersalah atas tuduhan yang lebih ringan atau dengan imbalan hukuman yang lebih ringan, untuk menghindari persidangan. Ini bertujuan efisiensi namun sering dikritik karena potensi tekanan dan ketidakadilan.
    5. Ketergantungan pada Bukti Lisan: Keterangan saksi dan pemeriksaan silang (cross-examination) sangat penting dalam persidangan.
    6. Precedent Kuat: Putusan pengadilan yang lebih tinggi mengikat pengadilan yang lebih rendah dalam kasus serupa.

B. Sistem Civil Law (Kontinental Eropa)
Seperti yang dianut Indonesia, juga ditemukan di Jerman, Prancis, Jepang, dan banyak negara di Amerika Latin.

  • Filosofi dan Prinsip Dasar:

    • Berakar pada hukum Romawi dan kodifikasi hukum.
    • Penekanan pada penemuan kebenaran materiil melalui investigasi yang komprehensif.
  • Ciri Khas (Sistem Inkuisitorial):

    1. Sistem Inkuisitorial: Prosesnya lebih bersifat investigatif, di mana negara (melalui jaksa dan hakim) secara aktif mencari kebenaran.
    2. Peran Hakim Aktif: Hakim (sering disebut investigating judge atau juge d’instruction di beberapa negara) berperan sentral dalam mengumpulkan bukti, menginterogasi saksi, dan bahkan memerintahkan penahanan.
    3. Tidak Ada Juri (Umumnya): Putusan sepenuhnya di tangan majelis hakim profesional. Beberapa negara (misalnya Jerman) memiliki sistem "hakim awam" yang duduk bersama hakim profesional, tetapi bukan juri independen.
    4. Kurangnya Plea Bargaining: Konsep negosiasi pengakuan bersalah tidak sepopuler atau seformal di sistem Common Law, meskipun ada bentuk-bentuk kesepakatan terbatas.
    5. Ketergantungan pada Berkas Perkara Tertulis: Investigasi pra-persidangan menghasilkan berkas yang sangat lengkap, yang menjadi dasar utama pemeriksaan di persidangan.

C. Sistem Campuran (Hybrid Systems)
Beberapa negara mengadopsi elemen dari kedua sistem. Contohnya Jepang dan India, yang memiliki tradisi Civil Law namun mengadopsi beberapa aspek Common Law seperti adversarial trial atau konsep precedent tertentu.

D. Sistem Hukum Berbasis Agama (Misalnya, Syariah)
Di negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, atau Sudan, sistem peradilan pidana sangat dipengaruhi oleh hukum Islam (Syariah), yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.

  • Ciri Khas:
    • Keadilan Ilahi: Hukum dianggap sebagai perintah Tuhan.
    • Jenis Hukuman: Meliputi hudud (hukuman yang ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah), qisas (retribusi), dan ta’zir (hukuman diskresioner oleh hakim).
    • Peran Qadi: Hakim (qadi) berperan sentral dalam menafsirkan dan menerapkan hukum Islam.
    • Sering Dikombinasikan: Banyak negara mayoritas Muslim menggabungkan Syariah dengan elemen Civil Law atau Common Law dalam sistem hukum mereka.

III. Titik-Titik Perbandingan Kunci: Indonesia dalam Konteks Global

Fitur Kunci Indonesia (Civil Law) Common Law (Misal: AS, Inggris) Civil Law (Misal: Jerman, Prancis)
Filosofi Dasar Inkuisitorial (mencari kebenaran materiil) Adversarial (pertarungan dua pihak) Inkuisitorial (mencari kebenaran materiil)
Peran Hakim Aktif dalam pemeriksaan, mencari fakta, interogasi Pasif, sebagai wasit, penegak aturan Aktif, memimpin investigasi dan pemeriksaan
Peran Jaksa Dominan, memimpin penuntutan dan pengumpulan bukti awal Satu pihak dalam persidangan, bersaing dengan pembela Dominan dalam investigasi dan penuntutan
Sistem Juri Tidak ada Ada, untuk memutuskan fakta dan kesalahan Tidak ada (atau ada bentuk hakim awam terbatas)
Plea Bargaining Sangat terbatas/Tidak umum Sangat umum, negosiasi pengakuan bersalah Sangat terbatas/Tidak umum
Sistem Precedent Tidak mengikat (hanya sebagai referensi) Mengikat (stare decisis) Tidak mengikat (hanya sebagai referensi)
Penekanan Bukti Berkas perkara tertulis, BAP Keterangan lisan, pemeriksaan silang Berkas perkara tertulis, laporan investigasi

IV. Tantangan Universal dan Arah Masa Depan

Meskipun berbeda dalam struktur dan filosofi, semua sistem peradilan pidana menghadapi tantangan serupa:

  • Efisiensi dan Keterlambatan: Proses hukum yang panjang dan birokratis.
  • Kapasitas Penjara: Overpopulasi dan kondisi yang tidak memadai.
  • Korupsi: Potensi penyalahgunaan wewenang dan suap.
  • Perlindungan Hak Asasi Manusia: Memastikan hak-hak terdakwa terpenuhi.
  • Adaptasi Teknologi: Pemanfaatan teknologi untuk efisiensi dan transparansi.
  • Keadilan Restoratif: Tren global untuk fokus pada pemulihan korban dan reintegrasi pelaku.

Indonesia, dengan karakteristik Civil Law yang khas, terus berupaya meningkatkan kualitas peradilan pidananya. Adopsi keadilan restoratif, reformasi birokrasi, dan peningkatan integritas penegak hukum menjadi agenda penting. Demikian pula, negara-negara Common Law juga menghadapi tantangan terkait biaya persidangan juri yang tinggi atau potensi ketidakadilan dalam plea bargaining.

Kesimpulan

Sistem peradilan pidana di Indonesia, dengan fondasi Civil Law dan nilai-nilai Pancasila, memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari sistem Common Law yang mengutamakan sistem juri dan adversarial. Namun, terlepas dari perbedaan struktural dan filosofis, semua sistem memiliki tujuan mulia yang sama: menegakkan keadilan, menjaga ketertiban, dan melindungi hak-hak warga negara. Dengan memahami ragam sistem ini, kita dapat belajar dari praktik terbaik global untuk terus menyempurnakan palu keadilan di negeri sendiri, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan beradab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *