Merajut Kedamaian, Mempertahankan Kedaulatan: Strategi Komprehensif Pemerintah dalam Menghadapi Konflik Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan (LCS) adalah salah satu wilayah maritim paling strategis dan kompleks di dunia, menjadi titik panas bagi klaim kedaulatan yang tumpang tindih dari beberapa negara. Kekayaan sumber daya alamnya – minyak, gas, dan perikanan – serta perannya sebagai jalur pelayaran internasional yang vital, menjadikannya medan persaingan geopolitik yang intens. Dalam menghadapi dinamika yang bergejolak ini, pemerintah-pemerintah negara yang terlibat maupun yang berkepentingan telah merumuskan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai dimensi, mulai dari diplomasi hingga pertahanan.
Latar Belakang Konflik: Labirin Klaim dan Kepentingan
Konflik LCS berakar pada klaim historis dan hukum atas pulau-pulau, terumbu karang, dan fitur maritim lainnya, serta wilayah laut di sekitarnya. Tiongkok mengklaim sebagian besar wilayah melalui "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line), yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Perseteruan ini diperparah dengan kehadiran militer yang meningkat, pembangunan pulau buatan, dan insiden-insiden maritim yang dapat memicu eskalasi. Bagi negara-negara di kawasan, mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulat di ZEE mereka adalah prioritas utama, sementara bagi kekuatan global seperti Amerika Serikat, isu kebebasan navigasi dan stabilitas regional menjadi sorotan.
Menyikapi kompleksitas ini, strategi pemerintah-pemerintah umumnya berlandaskan pada pilar-pilar berikut:
1. Jalur Diplomatik dan Hukum Internasional: Prioritas Resolusi Damai
Ini adalah pilar utama bagi sebagian besar negara di kawasan, yang mengutamakan penyelesaian konflik melalui cara-cara damai sesuai dengan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
- Negosiasi Bilateral: Negara-negara pengklaim seringkali mencoba menyelesaikan perselisihan secara langsung melalui dialog bilateral. Namun, kemajuan seringkali terhambat oleh perbedaan fundamental dalam interpretasi klaim dan hukum.
- Forum Multilateral: Peran ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) sangat krusial. Melalui forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), dan pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN Plus (ADMM+), negara-negara berusaha membangun kepercayaan, mengurangi ketegangan, dan mempromosikan dialog. Negosiasi untuk Kode Etik (Code of Conduct/COC) yang mengikat di LCS adalah upaya penting untuk menetapkan kerangka kerja perilaku di wilayah tersebut, meskipun kemajuannya lambat.
- Arbitrase dan Putusan Hukum: Filipina, misalnya, mengajukan kasus arbitrase terhadap Tiongkok ke Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2013, yang menghasilkan putusan pada tahun 2016 yang menolak dasar hukum klaim historis Tiongkok dan menguatkan hak-hak berdaulat Filipina berdasarkan UNCLOS. Meskipun Tiongkok menolak putusan ini, keputusan tersebut memberikan landasan hukum yang kuat bagi negara-negara pengklaim lainnya. Strategi ini menekankan pentingnya supremasi hukum dalam hubungan internasional.
- Diplomasi Publik: Menggalang dukungan internasional dengan menjelaskan posisi dan klaim mereka berdasarkan hukum internasional kepada komunitas global. Ini melibatkan pernyataan resmi, partisipasi dalam konferensi internasional, dan kampanye informasi.
2. Penguatan Kapabilitas Pertahanan dan Deterensi: Menjaga Kepentingan Nasional
Di samping upaya diplomatik, pemerintah juga menyadari pentingnya memiliki kemampuan pertahanan yang memadai untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasional di LCS.
- Modernisasi Militer: Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia secara aktif memodernisasi angkatan laut dan udara mereka, dengan fokus pada peningkatan kemampuan patroli maritim, pengawasan, dan respons cepat terhadap insiden di laut. Ini termasuk pengadaan kapal patroli baru, pesawat pengintai maritim, dan sistem pertahanan pesisir.
- Patroli dan Kehadiran Maritim: Peningkatan frekuensi dan cakupan patroli di ZEE masing-masing untuk menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat mereka, serta memantau aktivitas pihak lain. Kehadiran yang konsisten di wilayah yang disengketakan adalah bentuk penegasan klaim.
- Latihan Militer Bersama: Melakukan latihan militer bilateral dan multilateral dengan mitra strategis (misalnya, Filipina dengan AS, Australia, atau Jepang) untuk meningkatkan interoperabilitas, berbagi intelijen, dan memperkuat kemampuan pertahanan kolektif. Latihan ini juga berfungsi sebagai sinyal deterensi terhadap potensi agresi.
- Aliansi dan Kemitraan Strategis: Membangun atau memperkuat aliansi pertahanan dan kemitraan strategis dengan kekuatan-kekuatan eksternal (seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Inggris) yang memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas dan kebebasan navigasi di LCS. Kemitraan ini dapat mencakup dukungan logistik, pelatihan, dan pertukaran informasi.
3. Pengelolaan Sumber Daya dan Kerjasama Ekonomi: Membangun Kepercayaan
Meskipun terdapat konflik, beberapa pemerintah juga mencoba mencari celah untuk kerjasama dalam pengelolaan sumber daya.
- Eksplorasi dan Pemanfaatan Sumber Daya: Melindungi hak mereka untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam di ZEE mereka, yang seringkali memicu insiden dengan kapal penjaga pantai atau kapal penangkap ikan dari negara pengklaim lain.
- Pengembangan Bersama (Joint Development): Meskipun sulit terwujud karena masalah kedaulatan, konsep pengembangan bersama sumber daya di wilayah sengketa pernah diajukan sebagai cara untuk menghindari konflik sambil tetap berbagi manfaat ekonomi. Namun, implementasinya sangat menantang karena memerlukan pengakuan implisit atau eksplisit atas klaim masing-masing pihak.
- Kerjasama Non-Tradisional: Mendorong kerjasama dalam bidang-bidang non-tradisional seperti penelitian ilmiah kelautan, perlindungan lingkungan maritim, pencarian dan penyelamatan (SAR), dan penanggulangan kejahatan transnasional (misalnya, perompakan, penangkapan ikan ilegal). Kerjasama semacam ini dapat membantu membangun kepercayaan dan mengurangi ketegangan.
4. Mempertahankan Keseimbangan dan Otonomi Strategis: Peran Negara Non-Klaim (Contoh: Indonesia)
Bagi negara seperti Indonesia, yang bukan negara pengklaim di LCS (meskipun sebagian dari ZEE-nya di Natuna beririsan dengan nine-dash line Tiongkok), strateginya lebih berfokus pada menjaga perdamaian, stabilitas, dan kebebasan navigasi, serta menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS.
- Diplomasi Bebas Aktif: Indonesia secara konsisten menyerukan kepatuhan terhadap UNCLOS dan mendorong penyelesaian damai. Indonesia sering menjadi mediator dan inisiator dalam upaya membangun konsensus di ASEAN.
- Penegasan Kedaulatan di ZEE: Meski bukan pengklaim pulau, Indonesia secara tegas mempertahankan hak berdaulatnya di ZEE Natuna dari intrusi asing, baik melalui jalur diplomatik maupun pengerahan kekuatan maritim.
- Menolak Klaim Historis: Indonesia secara konsisten menolak klaim Tiongkok atas dasar historis yang tidak memiliki dasar hukum di bawah UNCLOS.
- Membangun Arsitektur Keamanan Regional: Berperan aktif dalam mendorong arsitektur keamanan regional yang inklusif dan berbasis aturan, seperti yang dipromosikan melalui Konsep Indo-Pasifik ASEAN.
Tantangan dan Prospek ke Depan
Strategi-strategi ini dihadapkan pada tantangan besar, termasuk asimetri kekuatan antara Tiongkok dan negara-negara pengklaim lainnya, kurangnya mekanisme penegakan hukum internasional yang kuat, serta kompleksitas kepentingan ekonomi dan keamanan yang saling terkait. Prospek penyelesaian komprehensif atas klaim kedaulatan di LCS masih jauh.
Namun, dengan mengadopsi pendekatan multi-dimensi – menggabungkan ketegasan diplomatik, penguatan pertahanan yang proporsional, serta upaya kerjasama di bidang non-sensitif – pemerintah-pemerintah berusaha merajut keseimbangan yang rapuh antara mempertahankan kedaulatan dan menghindari konflik bersenjata. Keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada komitmen semua pihak terhadap hukum internasional, dialog yang konstruktif, dan kemauan untuk menemukan solusi damai yang saling menguntungkan demi stabilitas dan kemakmuran kawasan Indo-Pasifik.